PERANAN FILSAFAT DALAM PENDIDIKAN
PAPER
PENDAHULUAN
Istilah
filsafat berasal dari dua suku kata dalam bahasa Yunani kuno, yaitu phile atau philos yang
berarti cinta atau sahabat, dan sophia atausophos yang
berarti kebijaksanaan. Kedua suku kata tersebut membentuk kata majemuk philosophia.
Dengan demikian, berdasarkan asal usul philosophia (filsafat)
berarti cinta kepada kebijaksanaan atau sahabat kebijaksanaan. Karena istilah
philosophia dalam bahasa Indonesia identik dengan istilah filsafat, maka untuk
orangnya, yaitu orang yang mencintai kebijaksanaan disebut filsuf.
Harun
Hadiwijono berpendapat bahwa filsafat diambil dari bahasa Yunani, filosofia.
Struktur katanya berasal dari kata filosofien yang berarti mencintai
kebijaksanaan. Dalam arti itu, menurut Hadiwijono filsafat mengandung arti
sejumlah gagasan yang penuh kebijaksanaan. Artinya, seseorang dapat disebut
berfilsafat ketika ia aktif memperoleh kebijaksanaan. Kata filsafat dalam
pengertian ini lebih memperoleh kebijaksanaan. Kata filsafat dalam pengertian
ini lebih berarti sebagai “Himbauan kepada kebijaksanaan”.
Di
zaman Yunani, filsafat bukan merupakan suatu disiplin teoritis dan spesial,
akan tetapi suatu cara hidup yang kongkret, suatu pandangan hidup yang total
tentang manusia dan tentang alam yang menyinari seluruh kehidupan seseorang.
Selanjutnya, dengan kehidupan atau perkembangan peradaban manusia dan problema
yang di hadapinya, pengertian yang bersifat teoritis seperti yang di lahirkan
filsafat Yunani itu kehilangan kemampuan untuk memberi jawaban yang layak
tentang kebenaran peradaban itu telah menyebabkan manusia melakukan loncatan
besar dalam bidang sains, teknologi, kedokteran dan pendidikan.
Perubahan
itu mendorong manusia memikirkan kembali pengertian tentang kebenaran. Sebab
setiap terjadi perubahan dalam peradaban akan berpengaruh terhadap sistem nilai
yang berlaku, karena antara perubahan peradaban dengan cara berfikir manusia
terdapat hubungan timbal balik.
Pendidikan
adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik. Karenanya
pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan, organis,
dinamis, guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan, melalui filsafat kependidikan.
Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai
masalah-masalah pendidikan.
Filsafat
pendidikan perlu dikuasai oleh para pendidik, adapun alasannya antara lain:
Pertama , karena pendidikan bersifat normatif, maka dalam rangka pendidikan
diperlukan asumsi yang bersifat normatif
pula. Asumsi-asumsi pendidikan yang bersifat normatif itu antara lain dapat
bersumber dari filsafat. Filsafat pendidikan
yang bersifat preskriptif dan normatif akan memberikan petunjuk tentang apa yang
seharusnya di dalam pendidikan atau apa yang dicita-citakan dalam pendidikan.
Kedua,
bahwa pendidikan tidak cukup dipahami hanya melalui pendekatan ilmiah yang bersifat
parsial dan deskriptif saja, melainkan perlu dipandang pula secara holistik. Adapun
kajian pendidikan secara holistik dapat diwujudkan melalui pendekatan
filosofis.
Ada
berbagai aliran filsafat pendidikan, antara lain Idealisme, Realisme, Pragmatisme,
dan sebagainya. Namun demikian, bangsa Indonesia sesungguhnya memiliki filsafat
pendidikan nasional tersendiri, yaitu filsafat pendidikan yang berdasarkan
Pancasila.
Sehubungan
dengan hal ini berbagai aliran filsafat
pendidikan perlu kita pelajari, namun demikian bahwa pendidikan yang kita
selenggarakan hendaknya tetap berlandaskan Pancasila. Pemahaman atas berbagai
aliran filsafat pendidikan akan dapat membantu pendidik untuk tidak terjerumus
ke dalam aliran filsafat lain.
Di
samping itu, sepanjang tidak bertentangan dengan
nilai-nilai Pancasila, kita pun dapat mengambil hikmah dari berbagai aliran
filsafat pendidikan lainnya, dalam rangka memperkokoh landasan filsafat
pendidikan kita. Dengan memahami landasan filsafat pendidikan diharapkan tidak terjadi kesalahan konsep tentang pendidikan
yang akan mengakibatkan terjadinya kesalahan dalam praktek pendidikan.
Paper
ini akan membantu Anda untuk memahami pengertian filsafat, pengertian filsafat
pendidikan dan konsep filsafat pendidikan menurut berbagai aliran filsafat.
Adapun aliran filsafat yang dimaksud yaitu: Idealisme, Realisme, Pragmatisme,
dan filsafat pendidikan nasional yang
berdasarkan Pancasila. Lebih khusus lagi paper ini akan membantu pendidik untuk
memahami implikasi konsep filsafat umum setiap aliran filsafat terhadap konsep
pendidikan.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
dan Karakteristik Filsafat
Definisi
Filsafat secara Etimologis. Istilah filsafat (Inggris:
philosophy; Arab: falsafah) berasal dari dua
kata dalam bahasa Yunani kuno, yaitu philein atau philos yang berarti cinta atau sahabat, dan sophia atau sophos
yang berarti kebijaksanaan Dengan demikian, secara etimologis philosophia
(filsafat) berarti cinta kepada kebijaksanaan atau sahabat kebijaksanaan.
Dalam tradisi Yunani Kuno istilah
filsafat telah digunakan. Sekitar abad keenam sebelum masehi, Pythagoras
(580-500 SM) telah menggunakannya. Berkenaan dengan pengertian istilah
philosophia Phythagoras pernah menyatakan bahwa dirinya bukanlah orang
yang bijaksana, melainkan seorang filsuf atau seorang yang mencintai
kebijaksanaan (Dagobert D. Runes, 1981).
Demikian pula Socrates (470-399 SM), sebagaimana tercatat dalam salah satu tulisan Plato yang berjudul
Phaedrus, Socrates dengan rendah hati menyatakan tentang filsuf sebagai berikut:
“Tak akan kusebut arif bijaksana mereka itu (maksudnya: filsuf), karena sebutan
demikian itu hanya berlaku bagi Tuhan; lebih suka aku menamakan mereka (para
filsuf) sahabat-sahabat kebijaksanaan; begitulah gelar yang bersahaja bagi
mereka” (Fuad Hassan, 1986).
Rasa cinta kepada kebijaksanaan
yang ada pada diri filsuf diwujudkan oleh para filsuf melalui berbagai
perbuatan, yaitu: (1) berfikir secara radikal/kontemplatif untuk mengetahui
kebenaran atau hakikat segala sesuatu; (2) Mengamalakan kebenaran; (3)
Mengajarkan kebenaran; dan (4) Berjuan mempertahankan keberanan dengan penuh
pengorbanan. Hal ini sebagaimana dicontohkan oleh Socrates dan Pythagoras.
Definisi
Filsafat secara Operasional. Ada diantara para ahli
yang mendefinisikan filsafat dari segi
proses berpikirnya, dan ada pula yang
mendefinisikan filsafat dari segi hasil
berpikir (hasil berpikir para filsuf).
Namun demikian, dalam rangka membangun pengertian filsafat, antara keduanya itu (filsafat sebagai proses
dan filsafat sebagai hasil) sesungguhnya tak dapat dipisahkan. Sebagai suatu
proses berpikir, filsafat dapat didefinisikan sebagai suatu proses berpikir reflektif sistematis dan kritis kontemplatif untuk menghasilkan sistem
pikiran atau sistem teori tentang hakikat segala sesuatu secara komprehensif.
Sejalan dengan ini Titus dkk. (1979) mengemukakan bahwa: Philosophy is a method of reflective thinking
and reasoned inquiry (Filsafat adalah metode atau cara berpikir reflektif dan
penyelidikan melalui menalar).
Sebagai suatu hasil berpikir,
filsafat dapat didefinisikan sebagai
sekelompok teori atau sistem pikiran. Titus dkk., (1979) merumuskannya
dalam kalimat: “Phylosophy is a group of theories or systems of thougt”.
Hasil berfilsafat yang telah dilakukan
oleh para filsuf tiada lain adalah sistem teori atau sistem pikiran mengenai
segala sesuatu. Sistem teori atau sistem pikiran ini tentunya sudah ada atau sudah tergelar di
dalam kebudayaan umat manusia. Kita dapat menemukannya dalam bentuk tulisan
atau buku, puisi, dsb, sebagaimana telah dihasilkan oleh para filsuf besar
seperti: Socrates, Plato, Aristoteles, Rene Descartes, Iqbal, Alghazali, John Dewey, John Locke, dsb. Dengan redaksi lain, filsafat sebagai hasil
berpikir dapat didefinisikan sebagai suatu sistem teori atau sistem pikiran
tentang hakikat segala sesuatu yang bersifat komprehensif, yang diperoleh
melalui berpikir reflektif sistematis dan kritis kontemplatif.
Definisi
Filsafat Secara Leksikal. Ditinjau secara leksikal,
sebagaimana dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahwa filsafat
berarti sikap hidup atau pandangan hidup (Balai Pustaka, 2005). Kita sering
atau mungkin pernah mendengar pernyataan berikut ini: “filsafat hidup saya adalah
….”, atau “Pancasila adalah filsafat hidup bangsa Indonesia”. Istilah filsafat
dalam pernyataan-pernyataan tadi memiliki arti sebagai sikap hidup atau
pandangan hidup.
Dalam
pengertian di atas, setiap orang baik secara individual maupun secara kelompok
tentu memiliki filsafatnya masing-masing. Adapun filsafat tersebut akan tercermin di dalam
pernyataan-pernyataan atau perbuatan-perbuatannya. Contoh: Orang yang apabila
bepergian ke luar rumah selalu membawa senjata tajam untuk membela diri,
mencerminkan sebagian kecil dari keseluruhan pandangan hidupnya. Orang tersebut
memiliki pandangan bahwa alam di luar
dirinya berbahaya dan memusuhinya, sebab itu hendaknya selalu waspada untuk
mempertahankan diri atau untuk membela diri.
Sebagai
sikap hidup atau pandangan hidup, filsafat tentunya bukan slogan-slogan yang
tidak diyakini kebenarannya dan tidak dijadikan dasar tindakan atau perbuatan
dalam hidup sehari-hari. Sebaliknya, bahwa sikap hidup dan pandangan hidup itu
sudah diyakini kebenarannya dan dijadikan dasar tindakan dalam hidup
sehari-hari.
Filsafat
sebagai sikap hidup dan pandangan hidup dapat dimiliki seseorang secara alamiah
melalui pengalaman hidup bersama di dalam masyarakatnya. Sikap hidup atau
pandangan hidup itu dimiliki melalui pengalaman yang relatif tidak disadari secara rasional dan
diperoleh tidak dengan cara-cara berfilsafat. Sebaliknya, filsafat sebagai
sikap hidup atau pandangan hidup itu
dapat pula dimiliki seseorang melalui cara-cara belajar yang disadari
misalnya melalui belajar tentang filsafat. Dengan mempelajari filsafat,
seseorang atau suatu kelompok masyarakat atau bangsa akan dapat membangun sikap hidup atau
pandangan hidupnya. Selain itu, filsafat sebagai sikap hidup atau pandangan
hidup bahkan dapat pula dimiliki seseorang melalui berfilsafat sebagaimana
telah dilakukan oleh para filsuf.
Karakteristik Filsafat. Dapat didentifikasi enam hal berkenaan dengan karakteristik
filsafat, yaitu objek yang dipelajari filsafat (objek studi), proses
berfilsafat (proses studi), tujuan berfilsafat, hasil berfilsafat (hasil
studi), penyajian dan sifat
kebenarannya. Objek studi filsafat
adalah segala sesuatu , meliputi segala
sesuatu yang telah tergelar dengan sendirinya (ciptaan Tuhan) maupun segala sesuatu sebagai hasil kreasi manusia.
Namun demikian dari segala sesuatu tersebut hanya yang bersifat mendasarlah
yang dipelajari atau dipertanyakan dan dipikirkan oleh para filsuf. Pendek kata
objek studi filsafat bersifat komprehensif mendasar .
Proses
studi atau proses berfilsafat dimulai
dengan ketakjuban, ketidak puasan, hasrat bertanya, dan keraguan seseorang
filsuf terhadap sesuatu yang dialaminya. Sehubungan dengan itu dalam
berfilsafat para filsuf tidak berpikir
dengan bertolak kepada suatu asumsi yang telah ada, sebaliknya mereka menguji
asumsi yang telah ada. Selain itu, berpikir filosofis atau berfilsafat
bersifat kontemplatif , artinya
berfikir untuk mengungkap hakikat dari sesuatu yang difikirkan, atau
berfikir spekulatif yakni berfikir melampauai fakta yang ada untuk mengungkap
apa yang ada di balik yang nampak, atau disebut pula berfikir radikal, yaitu
berfikir sampai kepada akar dari sesuatu yang dipertanyakan hingga terungkap
hakikat dari apa yang dipertanyakan tersebut. Adapun dalam rangka mengungkap
hakikat sesuatu yang dipertanyakannya itu para filsuf berfikir secara sinoptik,
yaitu berfikir dengan pola yang bersifat
merangkum keseluruhan tentang apa yang sedang dipikirkan atau dipertanyakan,
pola berfikir ini merupakan kebalikan dari pola berfikir analitik. Perlu
dipahami pula bahwa dalam berfikirnya itu para filsuf melibatkan seluruh
pengalaman insaninya sehingga bersifat subjektif .
Tujuan
para filsuf berpikir sedemikian
rupa mengenai apa yang dipertanyakannya
tiada lain adalah untuk memperoleh kebenaran. Adapun hasil berfilsafat adalah
berwujud system teori, system pikiran atau system konsep yang bersifat
normative atau preskriptif dan individualitistik-unik . Hasil berfilsafat bersifat normatif atau preskriptif artinya
bahwa system gagasan filsafat menunjukkan tentang apa yang dicita-citakan atau
apa yang seharusnya. Sedangkan individualistik-unik artinya bahwa system
gagasan filsafat yang dikemukakan filsuf tertentu akan berbeda dengan system
gagasan filsafat yang dikemukakan filsuf lainnya. Ini mungkin terjadi antara
lain karena sifat subjektif dari proses berfikirnya yang melibatkan pengalaman
insani masing-masing filsuf. Sebab itu, maka kebenaran filsafat bersifat
subjektif-paralelistik , maksudnya bahwa suatu system gagasan filsafat adalah
benar bagi filsuf yang bersangkutan atau bagi para penganutnya; antara system
gagasan filsafat yang satu dengan system gagasan filsafat yang lainnya
tidak dapat saling menjatuhkan mengenai
kebenarannya. Dengan kata lain, bahwa masing-masing aliran filsafat memiliki
kebenaran yang berlaku dalam relnya masing-masing. Adapun hasil berfilsafat
tersebut disajikan para filsuf secara tematik sistematis dalam bentuk
naratif (uraian lisan/tertulis) atau
profetik (dialog/tanya jawab lisan/tertulis).
Sistematika/Cabang-cabang Filsafat. Berdasarkan objek yang dipelajarinya filsafat
dapat diklasifikasi ke dalam: 1) Filsafat Umum atau Filsafat Murni, dan 2) Filsafat
Khusus atau Filsafat Terapan (Redja Mudyahardjo, 1995).
Cabang
Filsafat Umum terdiri atas:
a. Metafisika yang meliputi: (1) Metafisika Umum
atau Ontologi, dan (2) Metafisika Khusus yang meliputi cabang: (a) Kosmologi,
(b) Teologi, dan (c) Antropologi.
b. Epistemologi.
c. Logika.
d. Aksiologi yang meliputi cabang: (1) Etika dan (2) Estetika.
Adapun
cabang Filsafat Khusus antara lain: (1) Filsafat Hukum, (2) Filsafat Ilmu, (3) Filsafat
Pendidikan, dsb.
Metafisika
adalah cabang filsafat yang mempelajari atau membahas hakikat realitas (segala
sesuatu yang ada) secara menyeluruh (komprehensif).
Ontologi
adalah cabang filsafat (metafisika umum) yang mempelajari atau membahas tentang
hakikat ada-nya segala sesuatu yang ada secara komprehensif. Contoh tentang apa
yang dibahas atau dipermasalahkan di dalam Ontologi antara lain: apakah hakikat
yang ada (realitas) itu bersifat material atau ideal? Apakah hakikat yang ada itu bersifat tunggal,
dua, atau plural? Apakah yang ada itu
menetap atau berubah? Dsb. Jawaban terhadap pertanyaan tersebut tentunya tidak
satu, melainkan berbeda-beda.
Kosmologi
adalah cabang filsafat (bagian metafisika khusus) yang mempelajari atau
membahas tentang hakikat alam termasuk segala isinya, kecuali manusia.
Teologi
adalah cabang filsafat (bagian dari metafisika khusus) yang mempelajari atau
membahas tentang keberadaan Tuhan. Dalam teologi permasalahan tentang keberadaan
Tuhan ini dibahas secara rasional terlepas
dari kepercayaan agama. Misalnya:
pengakuan akan adanya Tuhan itu bukan atas dasar keimanan, melainkan
atas argumentasi rasional. Contohnya “Argumen Kosmologi” yang menyatakan bahwa:
segala sesuatu yang ada mesti mempunyai
suatu sebab. Adanya alam semesta - termasuk manusia - adalah sebagai akibat. Di
alam semesta terdapat rangkaian sebab-akibat, namun tentunya mesti ada Sebab
Pertama yang tidak disebabkan oleh yang lainnya.
Sebaliknya,
Sebab Pertama adalah sumber bagi sebab-sebab yang lainnya, tidak berada sebagai
materi, melainkan sebagai "Pribadi" atau "Khalik", yaitu
Tuhan
Antropologi
adalah cabang filsafat (bagian metafisika khusus) yang mempelajari atau membahas
tentang hakikat manusia. Persoalan yang dibahas dalam antropologi antara lain:
siapakah manusia itu, ciptaan Tuhan atau muncul dari alam sebagai hasil evolusi?
Apakah yang hakiki pada manusia itu badannya atau jiwanya? Bagaimanakah
hubungan antar badan dan jiwa?
Bagaimanakah hubungan manusia dengan tuhannya, dengan alam, dengan
sesamanya, dsb.
Epistemologi
adalah cabang filsafat yang mempelajari
atau membahas tentang hakikat pengetahuan. Persoalan yang dibahas dalam
epistemology antara lain mengenai sumber-sumber pengetahuan, cara-cara
memperoleh pengetahuan, kriteria kebenaran pengetahuan, dsb.
Logika
adalah cabang filsafat yang mempelajari atau membahas tentang asas-asas, aturan-aturan,
prosedur dan kriteria penalaran
(berpikir) yang benar. Logika antara lain membahas tentang bagaimana cara
berpikir yang tertib agar kesimpulan-kesimpulannya benar.
Aksiologi
adalah cabang filsafat yang mempelajari atau membahas tentang hakikat nilai.
Aksiologi terdiri dari Etika adalah cabang filsafat (bagian aksiologi) yang
mempelajari atau membahas tentang hakikat baik jahatnya perbuatan manusia; dan
Estetika
adalah cabang filsafat (bagian aksiologi) yang mempelajari atau membahas tentang
hakikat seni ( art ) dan keindahan ( beauty ).
Aliran
Filsafat. Sebagaimana dapat dipahami dari uraian dimuka, bahwa karakteristik
berpikir para filsuf yang bersifat kontemplatif dan subjektif telah
menghasilkan system gagasan yang bersifat individualistik-unik. Namun demikian,
dalam peta perkembangan system pikiran filsafat para ahli filsafat menemukan
kesamaan dan konsistensi pikiran dalam bentuk beberapa aliran pikiran dari para filsuf tertentu. Dengan
demikian, maka dikenal adanya berbagai aliran filsafat seperti Idealisme,
Realisme, Pragmatisme, dsb.
B.
Defisini
dan Karakteristik Filsafat Pendidikan
Definisi Filsafat Pendidikan.
Landasan filosofis pendidikan adalah seperangkat asumsi yang bersumber dari
filsafat yang dijadikan titik tolak dalam pendidikan. Struktur Filsafat Pendidikan. Filsafat
pendidikan sesungguhnya merupakan suatu sistem gagasan tentang pendidikan yang
dideduksi atau dijabarkan dari suatu sistem gagasan filsafat umum (Metafisika,
Epistemologi, Aksiologi) yang dianjurkan oleh suatu aliran filsafat tertentu.
Hal ini dapat dipahami sebagaimana disajikan oleh Callahan and Clark (1983)
dalam karyanya “Foundations of
Education”, dan sebagaimana disajikan Edward J. Power (1982) dalam karyanya
Philosophy of Education, Studies in Philosophies, Schooling and Educational
Policies.
Berdasarkan kedua sumber di atas
dapat Anda pahami bahwa terdapat hubungan implikasi antara gagasan-gagasan
dalam cabang-cabang filsafat umum terhadap gagasan-gagasan pendidikan. Hubungan
implikasi antara gagasan-gagasan dalam cabang-cabang filsafat umum terhadap
gagasan pendidikan tersebut dapat divisualisasikan seperti berikut ini:
BAGAN IMPLIKASI KONSEP FILSAFAT UMUM
TERHADAP
KONSEP PENDIDIKAN
KONSEP FILSAFAT UMUM KONSEP
PENDIDIKAN
- Hakikat Realitas -
Tujuan Pendidikan
-
Hakikat Manusia -
Kurikulum Pendidikan
- Hakikat Pengetahuan -
Metode Pendidikan
- Hakikat Nilai -
Peranan Pendidik dan Peserta
Dididik
Karakteristik
Filsafat Pendidikan. Filsafat pendidikan berisi tentang
gagasan-gagasan atau konsep-konsep yang bersifat normatif atau preskriptif. Filsafat
pendidikan dikatakan bersifat normatif atau preskriptif, sebab landasan
filosofis pendidikan tidak berisi konsep-konsep tentang pendidikan apa.
Filsafat Pendidikan adanya (faktual), melainkan berisi tentang konsep-konsep
pendidikan yang seharusnya atau yang dicita-citakan (ideal), yang disarankan
oleh filsuf tertentu untuk dijadikan titik tolak dalam rangka praktek
pendidikan dan/atau studi pendidikan.
Aliran
dalam Filsafat Filosofis
Pendidikan. Sebagaimana halnya di dalam filsafat umum, di dalam landasan
filsafat pendidikan juga terdapat berbagai aliran. Sehubungan dengan ini dikenal adanya landasan
filosofis pendidikan Idealisme, landasan filosofis pendidikan Realisme,
landasan filosofis pendidikan Pragmatisme, dsb.
C.
Tujuan
Filsafat Pendidikan
Adapaun
4 Tujuan Filsafat Pendidikan menurut Edward J. Power, sebagai berikut:
1.
Tujuan
Filsafat Pendidikan Inspirational
Adalah
“ to express utopian ideals for the
formal and informal education of human beings” Atau artinya adalah untuk
mengekspresikan tentang pendidikan yang ideal atau pendidikan yang
dicita-citakan.
Contoh tujuan filsafat pendidikan inspirational
antara lain sebagaimana tercermin dalamm filsaat pendidikan Plato yang termuat
dalam karyanya yang berjudul “Republik”
Plato mengekspresikan suatu model pendidikan yang dicita-citakan atau diidamkan
dalam ragka mendidik manusia agar menjadi warga Negara yang cakap, bertanggung
jawab, dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara,
sesuai dengan statusnya dan tingkat kebajikan yang dapat disumbangkannya kepada
Negara idaman.
Selain
Plato, J.J Rousseau dalam bukunya “Emile”
mengekspresikan tentang pendidikan yang diidamkan dan dicita-citakan dalam
rangka mendidik anak laki-laki. Rouseau mengemukakan bahwa: “segala sesuatu
yang dating dari tangan Tuhan pada awalnya adalah baik, tetapi segala sesuatu
menjadi rusak Karena tangan manusia ”.
2.
Tujuan
Filsafat Pendidikan Analytical
Adalah “to
descover and interpret meaning in educational discourse and practice” atau artinya adalah tujuan filsafat
pendidikan tiada lain untuk menemukan dan menginterpretasi makna perkataan atau
tulisan mengenai konsep pendidikan dan praktek pendidikan.
Contoh
tujan filsafat pendidikan yang bersifat
analytical antara lain sebagaimana tercermin dalam
filsafat pendidikan dikemukakan oleh Israel scheffler’s berjudul “the language
of education”. Edwar J Power mengemukakan bahwa: bahwa di Amerika serikat karya
Israel Schelffer’s dalam karyanya “the language of education” merupakan sebuah
essei filsafat pendidikan yang representative yang bertujuan analytical. Scheffler’s menggunakan analisis linguistic
untuk menemukan kejelasan idea-idea atau konsep-konsep dalam literature pendidikan.
3.
Tujuan
Filsafat Pendidikan yang Bersifat Presfective
Adalah “to give clear and precise directions for
educational practice with a commitment to their implementation” atau tujuan
filsafat pendidikan yang bersifat prespektif tiada lain untuk memberikan
kejelasan da arah yang tepat bagi praktek pendidikan dengan suatu komitmen
untuk mengimplimentasikannya. Tujuan filsafat pendidikan adalah memberikan
petunjuk tentang tujuan dan cara-cara pendidikan yang seharusnya untuk dapat
diimplimentasikan.
Contoh
tujuan filsafat pendidikan yang bersifat prespective
antara lain sebagaimana tercermin dalam filsafat pendidikan dari Herbart dalam
karyanya “the science of education”;
Hutchin dalam karyanya “The higher
learning in america”; dan Maritain dalam karyanya “education and the crossroads”.
Filsafat pendidikan Herbart antara lain memberikan petunjuk bahwa:
moralitas adalah satu dan keseluruhan pekerjaan pendidikan dan Herbart juga
memberikan petunjuk bahwa mengajar hendaknya didasarkan pada minat dan tahapan
yang runtut dan jelas. Menurutnya bahwa metode pendidikan hendaknya didasarkan
kepada psikologi.
4.
Tujuan
Filsafat Pendidikan yang Bersifat Investigations
dan Inquiry
Adalah “to inquire into policies and practices
adopted in education with a view to either justification or reconstrucction”
atau tujuan filsafat pendidikan yang bersifat investigasi dan inkuiri adalah
untuk menyelidiki kebijakan-kebijakan dan praktek-praktek pendidikan untuk
menjastifikasi atau merekontruksikannya kembali.
Contoh
Tujuan filsafat pendidikan yang bersifat investigasi dan inkuiri
tercermin dalam filsafat pendidikan Jhon Dewey dalam karyanya berjudul “Democracy and Education”
D.
Sifat
Komprehensif Filsafat Pendidikan
Filsafat pendidikan berfungsi memberikan
wawasan yang bersifat komprehensif mengenai hakikat pendidikan. Adapun
gambaran konkrit sifat “komprehensif” filsafat pendidikan dalam memandang
persoalan kehidupan manusia sebagai individu yang akan terus belajar sepanjang
hayatnya dapat kita lihat ketika seorang mahasiswa
dari jurusan kependidikan yang ketika itu diberikan mata kuliah filsafat
pendidikan maka akan timbul pertanyaan mengapa harus mempelajarinya dan
fungsinya apa ? Dan itu menandakan bahwa mahasiswa tersebut memandang belajar
untuk hidup dan lebih spesifiknya lagi adalah memandang belajar filsafat pendidikan
untuk praktek pendidikan dan studi pendidikan.
Tetapi
ketika ada seorang mahasiswa dengan jurusan yang sama diberikan mata kuliah
tersebut dan mempelajarinya hanya atas dasar untuk memenuhi kewajiban dalam
menempuh SKS atau ketentuan kurikulum yang ada atau bahkan mahasiswa tersebut
mempelajarinya hanya untuk mengisi waktu luang agar ada kesibukan semata, maka
tidak akan pernah muncul pertanyaan seperti mahasiswa yang pertama dan
pandangannya bukanlah belajar untuk hidup melainkan hidup untuk belajar atau
belajar hanya sekedar mengisi waktu dalam hidup. Kita memang harus mengetahui
fungsi filsafat pendidikan, pandangan tersebut paling tidak akan memberikan
wawasan dan motivasi bagi yang mempelajarinya agar dapat bersungguh-sungguh,
mengambil hikmah dari yang dipelajari dan mau mengamalkan seta melaksanakan
dalam praktek pendidikan jika sudah mengerti secara menyeluruh.
Sebagaimana
yang telah kita pahami filsafat pendidikan merupakan aplikasi dari filsafat
umum yang tujuannya untuk memecahkan masalah pendidikan. Di dalam filsafat
pendidikan antara ain dikaji mengenai makna hakikat realitas, hakikat
pengetahuan, hakikat nilai dan hakikat keberadaan manusia dalam hubungannya
dengan segala yang ada. Pencarian tujuan pendidikan yang bijaksana dan
konsisten adalah salah satu tugas dari filsafat pendidikan. Dengan demikian,
filsafat pendidikan berfungsi memberikan pedoman ke mana pendidikan seharusnya
di arahkan, yang dirumuskan dalam tujuan pendidikan.
E.
Fungsi
Filsafat Bagi Pendidik (Guru)
Sejak
awal perkembangan, filsafat berperan memberikan pengertian dan menjadi pedoman
bagi manusia dalam usaha memahami hakikat sesuatu . Ajaran filsafat telah
membantu dalam memberikan jawaban-jawaban atas problema-problema mendasar dalam
alam pikiran dan alam kehidupan manuisa .
Adapun
fungsi filsafat pendidikan antara lain sebagai berikut :
1.
Fungsi
spekulatif yang ditujukan untuk lebih memahami hakikat sesuatu. Misalnya
mengenai persolan-persoalan pendidikan secara komprehensif.
2.
Fungsi
Normatif yaitu proses temuan norma -norma kehidupan yang bersumber pada dasar-dasar
filsafat hidup yang dimilikinya.
3.
Fungsi
Kritik yaitu memberikan dasar pertimbangan dan menafsirakan data yang bersifat
ilmiah.
4.
Fungsi
Toeri bagi praktek, semua ide,konsepsi, kesimpulan-kesimpulan
5.
Fungsi
Integratif sering digunakan untuk memadu semacam nilai dan azas-azas normatife
dalam ilmu pendidikan .
F.
Konsep
Umum Filsafat
1. Filsafat Pendidikan Idealisme
Metafisika : Hakikat Realitas. Di
alam semesta dapat kita temukan berbagai hal, seperti batu, air, tumbuhan,
khewan, manusia, gunung, lautan, speda motor, buku, kursi, tata surya, dsb.
Selain itu, kita juga mengenal apa yang disebut jiwa, spirit, ide, dsb. Segala hal yang ada di alam semesta
itu disebut realitas (reality) . Sesuai dengan sifat berpikirnya yang radikal,
para filsuf mempertanyakan apakah sesungguhnya (hakikat) realitas itu? Jawaban
mereka berbeda-beda sesuai dengan titik tolak berpikir, cara berpikir dan
tafsirnya masing-masing.
Menurut para filsuf Idealisme, hakikat realitas bersifat spiritual daripada bersifat fisik,
atau bersifat mental daripada bersifat
material. Hal ini sebagaimana dikemukakan Plato, bahwa dunia yang kita
lihat, kita sentuh dan kita alami melalui indera bukanlah dunia yang
sesungguhnya, melainkan suatu dunia bayangan (a copy world); dunia yang sesungguhnya adalah dunia
idea-idea (the world of “ideas”). Karena itu Plato disebut sebagai seorang
Idealist (S.E. Frost Jr., 1957).
Menurut penganut Idealisme,
realitas diturunkan dari suatu substansi fundamental, yaitu pikiran/spirit/roh.
Benda-benda yang bersifat material yang tampak nyata, sesungguhnya diturunkan
dari pikiran/jiwa/roh . Contoh: Kursi yang sesungguhnya bukanlah bersifat
material, sekalipun Anda menemukan kursi yang tampak bersifat material,
namun hakikat kursi adalah
spiritual/ideal, yaitu ide tentang kursi.
Pada tingkat universal (alam semesta), pikiran-pikiran yang terbatas hidup dalam suatu dunia yang bertujuan
yang dihasilkan oleh suatu pikiran yang
tak terbatas atau yang Absolut. Seluruh alam semesta diciptakan oleh suatu
pikiran atau roh yang tak terbatas. Karena itu,
segala sesuatu dan kita (manusia) merupakan bagian kecil dari pikiran
atau roh yang tak terbatas (Callahan and Clark, 1983). Pandangan metafisika
Idealisme diekspresikan Parmenides
dengan kalimat: “What cannot be thought cannot be real”/ Apa yang tidak dapat
dipikirkan tidaklah nyata. Schoupenhauer mengekspresikannya dengan pernyataan “The world is my idea” / Dunia adalah ideku
(G.F. Kneller, 1971). Sebab itu, keberadaan (eksistensi) sesuatu tergantung kepada
pikiran/jiwa/spirit/roh.
Hakikat Manusia. Sejalan dengan
gagasan di atas, menurut para filsuf Idealisme
bahwa manusia hakikatnya bersifat
spiritual atau kejiwaan. Pribadi manusia
digambarkan dengan kemampuan kejiwaannya
(seperti: kemampuan berpikir, kemampuan memilih, dsb). Manusia hidup dalam
dunia dengan suatu aturan moral yang jelas-yang diturunkan dari yang Absolut. Karena
manusia merupakan bagian dari alam semesta
yang bertujuan, maka manusia pun merupakan makhluk yang cerdas dan bertujuan.
Selain itu, karena “pikiran manusia diberkahi
kemampuan rasional, maka ia mempunyai kemampuan untuk menentukan
pilihan, ia adalah makhluk yang bebas” (Edward J. Power, 1982).
Hakikat manusia bersifat spiritual
atau kejiwaan. Berkenaan dengan ini setiap manusia memiliki bakat kemampuannya masing-masing
yang mengimplikasikan status atau kedudukan dan peranannya di dalam masyarakat/negara.
Kita ambil contoh dari teori Plato tentang tiga bagian jiwa (Plato’s tripartite
theory of the soul) : Menurut Plato, setiap manusia memiliki tiga bagian jiwa,
yaitu: nous (akal, fikiran) yang
merupakan bagian rasional, thumos
(semangat atau keberanian), dan epithumia (keinginan, kebutuhan atau nafsu). Pada setiap orang, dari ketiga bagian jiwa
tersebut akan muncul salah satunya yang dominan. Sehingga: pertama, ada orang
yang dominan bakat kemampuan berpikirnya; kedua, ada yang dominan keberaniannya, dan ketiga ada yang dominan keinginan/nafsunya. Atas dasar
ini, Plato mengklasifikasi manusia di dalam negara berdasarkan bakat
kemampuannya tersebut, yaitu: pertama, kelas counselors (kelas penasihat atau
pembimbing / pemimpin), yaitu para cendekiawan atau para filsuf; kedua, kelas
the state-assistants / guardians (kelas pembantu/penjaga) yaitu kelompok
militer; dan ketiga, kelas money makers (kelas karya/penghasil) yaitu para
petani, pengusaha, industrialis, dsb. Namun demikian klasifikasi manusia
tersebut bukanlah kasta yang secara turun temurun tidak dapat berubah. Apabila
seseorang dari kelas tertentu - misalnya: dari kelas karya - ternyata memiliki
bakat yang sesuai dengan bakat dalam kelas penjaga atau pembimbing, maka ia
harus segera pindah ke kelas yang sesuai dengan bakatnya itu, demikian pula
sebaliknya. Selain itu, Plato menghubungkan ketiga bagian jiwa manusia dengan
empat kebajikan pokok (cardinal virtues) sebagai moralitas jiwa (soul’s
morality) , yaitu: kebijaksanaan/kearifan, keperkasaan, pengendalian diri, dan keadilan.
Pikiran/akal dihubungkan dengan kebijaksanaan/kearifan yang harus menjadi moralitas jiwa kelas counselor/ pembimbing/
pemimpin; keberanian dihubungkan dengan keperkasaan yang harus menjadi
moralitas jiwa kelas militer / penjaga (guardians) , nafsu dihubungkan dengan
pengendalian diri yang harus menjadi moralitas jiwa kelas karya/penghasil.Adapun
keadilan harus menjadi moralitas jiwa semua orang dari kelas manapun agar
keselarasan dan kesimbangan tetap terpelihara dengan baik.
Berdasarkan uraian di atas dapat
Anda simpulkan bahwa hakikat manusia bukanlah badannya, melainkan
jiwa/spiritnya, manusia adalah makhluk berpikir, mampu memilih atau bebas,
hidup dengan suatu aturan moral yang jelas dan bertujuan. Tugas dan tujuan
hidup manusia adalah hidup sesuai dengan bakatnya serta nilai dan norma moral
yang diturunkan oleh Yang Absolut.
Epistemologi: Hakikat Pengetahuan.
Proses mengetahui terjadi dalam pikiran, manusia memperoleh pengetahuan melalui berpikir. Di samping itu, manusia dapat pula memperoleh
pengetahuan melalui intuisi. Bahkan beberapa
filsuf Idealisme percaya bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara mengingat
kembali (semua pengetahuan adalah sesuatu yang diingat kembali). Plato adalah
salah seorang penganut pandangan ini. Ia sampai pada kesimpulan tersebut
berdasarkan asumsi bahwa spirit/jiwa manusia bersifat abadi, yang mana pengetahuan sudah ada di dalam spirit/jiwa
sejak manusia dilahirkan.
Bagi penganut Idealisme Objective
seperti Plato, ide-ide merupakan esensi
yang keberadaannya bebas dari pendriaan. Sedangkan bagi penganut Idealisme
Subjective seperti George
Barkeley, bahwa manusia hanya
dapat mengetahui dengan apa yang ia persepsi.
Karena itu, pengetahuan manusia hanyalah merupakan keadaan dari pikirannya atau
idenya. Adapun setiap rangsangan yang diterima oleh pikiran hakikatnya diturunkan atau
bersumber dari Tuhan, Tuhan adalah Spirit Yang Tak Terbatas (Callahan
and Clark, 1983).
Sehubungan dengan hal di atas, kebenaran (pengetahuan
yang benar) hanya mungkin didapat oleh orang-orang tertentu yang memiliki
pikiran yang baik saja, sedangkan kebanyakan orang hanya sampai pada tingkat
pendapat” (Edward J. Power, 1982).
Adapun uji kebenaran pengetahuan
dilakukan melalui uji konsistensi atau koherensi dari ide-idenya. Sebab itu
teori uji keberanannya dikenal sebagai Teori Konsistensi/Teori Koherensi.
Contoh: “Semua makhluk bersifat fana (dapat rusak atau mati), Iqbal adalah
makhluk, sebab itu Iqbal akan mati”. Pengetahuan ini adalah benar, sebab
ide-idenya koheren atau konsisten. “Jalan merupakan urat nadi perekonomian masyarakat,
Amin bunuh diri dengan jalan memutuskan urat nadinya, karena itu Amin telah membunuh jalannya perekonomian
masyarakat”. Pengetahuan ini adalah
salah, sebab ide-idenya tidak konsisten/tidak koheren.
Aksiologi: Hakikat Nilai . Para
filsuf Idealisme sepakat bahwa nilai-nilai bersifat abadi. Menurut penganut Idealisme Theistik
nilai-nilai abadi berada pada Tuhan. Baik dan jahat, indah dan jelek diketahui
setingkat dengan ide baik dan ide indah konsisten dengan baik dan indah yang absolut dalam Tuhan. Penganut Idealisme
Pantheistik mengidentikan Tuhan dengan alam. Nilai-nilai adalah absolut dan
tidak berubah (abadi), sebab nilai-nilai merupakan bagian dari aturan-aturan
yang sudah ditentukan alam (Callahan and Clark, 1983). Sebab itu dapat Anda
simpulkan bahwa manusia diperintah oleh nilai-nilai moral imperatif dan abadi yang
bersumber dari Realitas yang Absolut.
2.
Filsafat Pendidikan Realisme
Metafisika: Hakikat Realitas . Jika filsuf Idealisme menekankan
pikiran.jiwa/spirit/roh sebagai hakikat realitas, sebaliknya menurut para
filsuf Realisme bahwa dunia terbuat
dari sesuatu yang nyata, substansial dan material yang hadir dengan sendirinya
(entity). Di dunia atau di alam tersebut terdapat hukum-hukum alam yang
menentukan keteraturan dan keberadaan setiap yang hadir dengan sendirinya dari
alam itu sendiri (Callahan and Clark, 1983). Realitas hakikatnya bersifat
objektif, artinya bahwa realitas berdiri sendiri, tidak tergantung atau tidak
bersandar kepada pikiran/jiwa/spirit/roh.
Namun demikian, mereka tetap
mengakui keterbukaan realitas terhadap pikiran untuk dapat mengetahuinya. Hanya
saja realitas atau dunia itu bukan/berbeda dengan pikiran atau keinginan
manusia.
Hakikat Manusia . Manusia adalah bagian dari alam, dan ia
muncul di alam sebagai hasil puncak dari mata rantai evolusi yang terjadi di
alam. Hakikat manusia didefinisikan
sesuai dengan apa yang dapat dikerjakannya. Pikiran (jiwa) adalah suatu
organisme yang sangat rumit yang mampu berpikir. Namun, sekalipun manusia mampu
berpikir ia bisa bebas atau tidak bebas (Edward J. Power, 1982). Manusia dan
masyarakat adalah bagian dari alam. Karena di alam semesta terdapat hukum alam
yang mengatur dan mengorganisasikannya, maka untuk tetap survive dan bahagia
tugas dan tujuan manusia adalah menyesuaikan diri terhadap hukum-hukum alam,
masyarakatnya dan kebudayaannya.
Epistemologi: Hakikat Pengetahuan .
Ketika lahir, jiwa atau pikiran manusia adalah
kosong. Saat dilahirkan manusia tidak membawa pengetahuan atau ide-ide
bawaan, John Locke mengibaratkan
pikiran/jiwa manusia sebagai tabula rasa
(meja lilin/kertas putih yang belum ditulisi) . Pengetahuan
diperoleh manusia bersumber dari pengalaman indra. Manusia
dapat menggunakan pengetahuannya dalam berpikir untuk menemukan objek-objek
serta hubungan-hubungannya yang tidak ia persepsi (Callahan and Clark, 1983).
Mengingat realitas bersifat objektif, maka terdapat dualisme antara orang yang
mengetahui dengan realitas yang diketahui. Implikasinya, para filsuf
Realisme menganut “prinsip independensi” yang menyatakan bahwa pengetahuan manusia
tentang realitas tidak dapat mengubah substansi atau esensi realitas. Karena realitas bersifat material dan nyata,
maka kebenaran pengetahuan diuji dalam kesesuaiannya dengan fakta di dalam
dunia material atau pengalaman dria. Teori uji kebenaran ini dikenal sebagai
Teori Korespondensi. Contoh: Apabila seseorang mengatakan bahwa rasa gula
adalah manis, untuk mengetahui kebenaran
pengetahuan / pernyataan tersebut harus
diuji melalui pengalaman, misalnya dengan mencicipi gula.
Jika dari pengalaman mencicipi
gula ternyata gula itu rasanya manis,
maka pengetahuan itu benar. Atas dasar prinsip independensi dan teori
korespondensi, maka pengetahuan mungkin saja berubah. Apa yang dulu dinyatakan
benar mungkin sat ini dinyatakan salah, atau mungkin pula sebaliknya sesuai dengan hasil pengalaman empiris yang
didapat. Sebab itu, epistemologi demikian dikenal pula sebagai Empirisme atau
Objektivisme.
Aksiologi: Hakikat Nilai . Karena manusia adalah bagian dari alam, maka
ia pun harus tunduk kepada hukum-hukum alam, demikian pula masyarakat. Hal ini
sebagaimana dikemukakan Edward J. Power (1982) bahwa: “Tingkah laku manusia diatur oleh hukum alam,
dan pada tingkat yang lebih rendah diuji melalui konvensi atau kebiasaan, dan
adat istiadat di dalam masyarakat”. “Nilai-nilai individual dapat diterima apabila
sesuai dengan nilai-nilai umum
masyarakatnya. Pendapat umum masyarakat merefleksikan status quo
realitas masyarakat; dan karena realitas masyarakat merepresentasikan kebenaran
yang adalah ke luar dari mereka sendiri, serta melebihi pikiran, maka hal itu
berguna sebagai suatu standar untuk menguji validitas nilai-nilai individual”
(Callahan and Clark, 1983).
3.
Filsafat Pendidikan Pragmatis
Metafisika: Hakikat Realitas .
Aliran filsafat Pragmatisme dikenal pula dengan sebutan Eksperimentalisme dan
Instrumentalisme. Menurut penganut Pragmatisme hakikat realitas
adalah segala sesuatu
yang dialami manusia
(pengalaman); bersifat plural (pluralistic); dan terus menerus berubah. Mereka
berargumentasi bahwa realitas adalah sebagaimana dialami melalui pengalaman
setiap individu (Callahan and Clark, 1983). Hal ini sebagaimana dikemukakan
William James bahwa: “Dunia nyata adalah dunia pengalaman manusia” (S.E. Frost
Jr., 1957). Sifat plural realitas antara lain tersurat dalam pernyataan John
Dewey: “Dunia yang ada sekarang ini adalah dunia pria dan wanita, sawah-sawah,
pabrik-pabrik, tumbuhan-tumbuhan dan binatang-binatang, kota yang hiruk pikuk,
bangsa-bangsa yang sedang berjuang, dsb. …. adalah dunia pengalaman kita” (H.H.
Titus et all, 1959). Mengingat realitas ini terus berubah, maka realitas tak
pernah lengkap atau tak pernah selesai. Sebab itu, tujuan akhir realitas pun berada bersama perubahan tersebut. Jadi
menurut penganut Pragmatisme, “hanya realitas fisik yang ada, teori umum
tentang realitas tidak mungkin dan tidak diperlukan” (Edward J. Power, 1982).
Hakikat Manusia . Kepribadian/manusia tidak terpisah dari
realitas pada umumnya, sebab manusia adalah bagian daripadanya dan terus
menerus bersamanya. Karena realitas terus berubah, manusia pun merupakan bagian
dari perubahan tersebut. Beradanya manusia di dunia adalah suatu kreasi dari
suatu proses yang bersifat evolusi (S.E. Frost Jr., 1957). “Manusia laki-laki
dan perempuan – adalah hasil evolusi biologis, psikologis, dan sosial” (Edward
J. Power, 1982). Sejalan dengan perubahan yang terus menerus terjadi tentunya
akan muncul berbagai permasalahan dalam
kehidupan pribadi dan masyarakatnya. Sebab itu, manusia yang ideal adalah
manusia yang mampu memecahkan masalah baru baik dalam kehidupan pribadi maupun
masyarakatnya.
Epistemologi: Hakikat Pengetahuan
. Filsuf Pragmatisme menolak dualisme antara subjek (manusia) yang
mempersepsi dengan objek yang
dipersepsi. Manusia adalah kedua-duanya dalam dunia yang dipersepsinya dan dari
dunia yang ia persepsi. Segala sesuatu dapat diketahui melalui pengalaman,
adapun cara-cara memperoleh pengetahuan yang diandalkan adalah metode ilmiah
atau metode sains sebagai mana disarankan oleh John Dewey. Pengalaman tentang fenomena menentukan pengetahuan. Karena
fenomena terus menerus berubah, maka
pengetahuan dan kebenaran tentang fenomena itu pun mungkin berubah.
Bagaimanapun, kebenaran pada hari ini harus juga dipertimbangkan mungkin
berubah esok hari (Callahan and Clark, 1983).
Menurut filsuf Pragmatisme, suatu pengetahuan hendaknya dapat
diverifikasi dan diaplikasikan dalam kehidupan. Adapun kriteria kebenarannya
adalah workability, satisfaction, and result . Pengetahuan dinyatakan benar apabila
dapat dipraktekkan, memberikan hasil dan memuaskan. Berdasarkan uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa “pengetahuan bersifat relatif; pengetahuan dikatakan
bermakna apabila dapat diaplikasikan. Sebab itu Pragmatisme dikenal pula
sebagai Instrumentalisme ” (Edward J. Power, 1982).
Aksiologi: Hakikat Nilai .
Nilai-nilai diturunkan dari kondisi manusia. Nilai tidak bersifat ekslusif,
tidak berdiri sendiri, melainkan ada dalam suatu proses, yaitu dalam
tindakan/perbuatan manusia itu sendiri. Karena manusia (idividual) merupakan
bagian dari masyarakatnya, baik atau tidak baik tindakan-tindakannya dinilai
berdasarkan hasil-hasilnya di dalam masyarakat. Jika akibat yang terjadi
berguna bagi dirinya dan masyarakatnya, maka tindakan tersebut adalah baik
. Nilai etika dan estetika tergantung pada
keadaan relatif dari situasi yang terjadi. Nilai-nilai akhir ( ultimate values
) tidaklah ada, benar itu selalu relatif dan tergantung pada kondisi yang ada
(conditional). Pertimbangan-pertimbangan nilai adalah berguna jika bermakna
untuk kehidupan yang intelegen, yaitu hidup yang sukses, produktif, dan bahagia
(Callahan and Clark, 1983). Karena itu aliran ini dikenal sebagai Pragmatisme
atau Eksperimentalisme .
G.
Implikasi
Filsafat terhadap Pendidikan
Implikasi
Filsafat Idealisme, Realisme, Pragmatisme, Scholastisisme dan Eksistensialisme
terhadap Pendidikan, sebagai berikut:
1.
Tujuan Pendidikan Menurut para filsuf Idealisme, pendidikan bertujuan untuk
membantu perkembangan pikiran dan diri pribadi (self) siswa, sedangkan tujuan
pendidikan dari filsafat Realisme adalah untuk “penyesuaian diri dalam hidup
dan mampu melaksanakan tanggung jawab sosial” dan untuk tujuan pendidikan dari
filsafat pragmatisme hampir sama dengan realisme yaitu mengadepankan
penyesuaian diri terhadap perubahan yang terjadidi dalam masyarakat. Kemudian
tujuan dari filsafat Scholatisisme mengajarkan bahwa tujuan pendidikan
hendaknya tidak hanya untuk mengembangkan kemempuan intelektual saja, atau
hanya untuk mengembangkan kemampuan fisika, melainkan untuk mengembangkan semua
potensi yang dimiliki manusia agar dapat hidup selamat di dunia maupun di
akhirat. Tujuan dari filsafat Eksistensialisme lebih kepada membantu menusia
secara individual karena hakikat ini muncul setelahnya jadi dapat memperbaiki
kekurangan dari pandangan dari hakikat sebelumnya.
2.
Kurikulum Pendidikan Kurikulum pendidikan Idelaisme berisikan pendidikan
liberal dan pendidikan vokasional/praktis. Maksudnya adalah untuk mengembangkan
kemampuan-kemampuan rasional, moral dan kemampuan suatu kehidupan/pekerjaan.
Kurikulumnya diorganisasikan menurut mata pelajaran dan berpusat pada materi
pelajaran (subject matter centered). Menurut kurikulum pendidikan Realisme
sebaiknya kurikulum itu meliputi : Sains,/ilmu pengetahuan alam dan matematika,
Ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu-ilmu sosial serta nilai-nilai. Dan para filsuf
Realisme percaya bahwa kurikulum yang baik diorganisasikan menurut mata
pelajaran dan berpusat pada materi pelajaran (subject matter centered) dan ini
hampirsama dengan kurikulum yang diterapkan pada pendidikan Idelaisme. Kemudian
dalam pandangan Pragmatisme, kurikulum sekolah seharusnya tidak terpisahkan
dari keadaan-keadaan yang riil dalam masyarakat. Maka dari itu Demokratis harus
menjadi bentuk dasar kurikulum ;dan makna pemecahan ulang masalah-masalah
lembaga demokratis juga harus dimuat dalam kurikulum. Sedangkan isi pendidikan
Scholatisisme harus meliputi agama dan ilmu kemanusiaan (humanities). Disiplin
matematika, logika, bahasa, dam retorika juga dipandang penting. Lain halnya
dengan kurikulum yang dianut pendidikan eksistensialisme yang tidak berpusat
pada materi pelajaran karena apapun yang dipelajari peserta didik merupakan
suatu alat bagi peserta didik terebut dalam mengembangkan [pengetahuan diri
(self knowledge) dan tanggung jawab diri (self responsibility).
3.
Metode Pendidikan Pada pendidikan Idealisme struktur dan atmosfir kelas
hendaknya memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir, dan untuk
menggunakan kriteria penilaian moral dalam situasi-situasi kongkrit dalam
konteks pelajaran. Metode pendidikan Idealisme cenderung mengabaikan dasa-dasa
fisiologis dalam belajar. Untuk pendidikan realisme metode yang disarankan
bersifat otoriter. Dan evaluasi merupakan aspek penting dalam mengajar. Dalam
metode yang di gunakan pada penganut pragmetisme ialah metode pemecahan masalah
serta metode penyelidikan dan penemuan.sedangkan pada penganut Scholatisisme
mengutamakanmetode latihan formal dalam rangka mendisiplinkan pikiran. Kemudian
untuk para filsuf Eksistesialisme hendaknya pendidikan dilaksanakan dengan
teknik-teknik pembelajaran nondirective.
4.
Peranan Pendidik dan Peserta Didik Menurut para flsuf Idealisme, guru haruslah
unggul agar menjadi teladan yang baik untuk siswanya sama halnya dengan
pendidikan realism yang juga menekankan pada pentingnya memberikan pengetahuan
dan nilai-nilai esensial bagi para siswa. Pada prinsip pendidikan Pragmatisme
guru berperan sebagai pemimpin dan membimbing pengalaman belajar tanpa ikut
campur terlalu jauh dengan minat siswa. Kemudian pada prinsip yang diterapkan
Scholatisisme guru harus menjadi teladan yang baik bagi para siswanya sama
seperti prinsip yang di anut hakikat-hakikat sebelumnya. Sedangkan pada hakikat
penganut Eksistensialisme guru harus berperan sebagai pembimbing, karena itu
pendidik harus bersikap demokratis.
KESIMPULAN
Istilah
filsafat berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani kuno, yaitu philein
atau philos yang berarti cinta atau sahabat, dan sophia atau s ophos yang
berarti kebijaksanaan. Dengan demikian, berdasarkan asal usul katanya filsafat berarti cinta
kepada kebijaksanaan atau sahabat kebijaksanaan. Adapun secara operasional filsafat mengandung dua pengertian, yakni
sebagai proses (berfilsafat) dan sebagai hasil berfilsafat (sistem teori atau
system gagasan). Di pihak lain jika ditinjau secara leksikal filsafat berarti
sikap hidup atau pandangan hidup.
Berkenaan
dengan objek studi, proses studi, tujuan studi, hasil studi, penyajian dan sifat kebenaran filsafat dapat
diidentifikasi karakteristik sebagai berikut: 1) komprehensif mendasar, 2)
kontemplatif/radikal dan sinoptik, 3) normatif atau preskriptif dan
individualitistik-unik, 4) tematik sistematis dalam bentuk naratif atau profetik, dan 5) subjektif-paralelistik.
Berdasarkan objek yang dipelajarinya filsafat dapat diklasifikasi ke dalam: 1)
Filsafat Umum atau Filsafat Murni, dan 2) Filsafat Khusus atau Filsafat Terapan.Cabang
Filsafat Umum.
Filsafat
umum terdiri atas: a. Metafisika yang meliputi:
(1) Metafisika Umum atau Ontologi, dan (2) Metafisika Khusus yang meliputi
cabang: (a) Kosmologi, (b) Teologi, dan (c) Antropologi. b. Epistemologi. c. Logika. d.
Aksiologi yang meliputi cabang: (1)
Etika dan (2) Estetika. Adapun cabang Filsafat Khusus antara lain: (1)
Filsafat Hukum, (2) Filsafat Ilmu, (3) Filsafat Pendidikan, dsb. Di dalam
filsafat dikenal adanya berbagai aliran seperti Idealisme, Realisme,
Pragmatisme, dsb.
Idealisme:
hakikat realitas bersifat kejiwaan/spiritual/rohaniah/ideal. Manusia memperoleh
pegetahuan melalui berpikir, intuisi, atau mengingat kembali. Kebenaran pengetahuan
diuji melalui koherensi/konsistensi ide-idenya. Adapun hakikat nilai diturunkan dari realitas absolute (Tuhan).
Implikasinya: pendidikan hendaknya
bertujuan untuk mengembangkan bakat,
kepribadian, dan kebajikan sosial para siswa, agar mereka dapat melaksanakan
kehidupan yang baik di dalam masyarakat/negara sesuai nilai-nilai yang
diturunkan dari Yang Absolut. Untuk itu kurikulum berisikan pendidikan liberal
dan pendidikan vokasional/praktis; kurikulum harus memuat pengetahuan dan
nilai-nilai esensial kebudayaan; sebab itu kurikulum pendidikan cenderung sama
untuk semua siswa. Kurikulum Idealisme bersifat subject matter centered .
Metode dialektik diutamakan, namun demikian beberapa metode yang efektif yang mendorong belajar dapat
diterima; kecenderungannya mengabaikan dasar-dasar fisiologis dalam
belajar”. Guru harus unggul dalam hal intelektual maupun moral; bekerjasama
dengan alam dalam proses pengembangan manusia; dan bertanggung jawab menciptakan
lingkungan pendidikan bagi para siswa.
Adapun siswa berperan bebas mengembangkan kepribadian dan
bakat-bakatnya.
Realisme:
Hakikat realitas bersifat fisik/material dan objektif; keberadaan dan perkembangan
realitas diatur dan diorganisasikan oleh hukum alam. Manusia adalah bagian dan
dihasilkan dari alam itu sendiri; hakikat pribadi tertentukan dari apa yang dapat
dikerjakannya; manusia mampu berpikir tetapi ia dapat bebas atau tidak bebas. Pengetahuan
diperoleh manusia melalui pengalaman pendriaan; kebenaran pengetahuan diuji melalui korespondensinya dengan fakta.
Nilai hakikatnya diturunkan dari hukum alam dan konvensi/kebiasaan serta adat
istiadat masyarakat. Implikasinya: pendidikan bertujuan agar siswa mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungannya, dan mampu melaksanakan tanggungjawab
sosial. Kurikulum pendidikan berpusat kepada isi mata pelajaran; adapun mata
pelajarannya terdiri atas sains/ IPA, matematika, ilmu kemanusiaan dan IPS,
serta nilai-nilai. Kurikulum tersebut harus memuat pengetahuan dan nilai-nilai
esensial kebudayaan yang diberlakukan sama untuk semua siswa. Kurikulum
direncanakan dan ditentukan oleh guru. Kurikulum Realisme bersifat subject
matter centered. Metode mengajar yang utama adalah pembiasaan; para siswa
hendaknya belajar melalui pengalaman langsung ataupun pengalaman tidak
langsung. Peranan guru cenderung bersifat otoriter; guru harus menguasai pengetahuan dan keterampilan teknik-teknik mengajar; Guru
memiliki kewenangan dalam membentuk prestasi siswa. Adapun siswa berperan untuk
menguasai pengetahuan, harus taat pada aturan dan disiplin.
Realisme
dan Idealisme memiliki kesamaan dalam orientasi
pendidikannya, yaitu Essensialisme. Namun demikian karena kedua aliran
ini memiliki gagasan yang berbeda mengenai filsafat umumnya, maka kedua aliran
ini tetap memiliki perbedaan pula dalam hal tujuan pendidikan, isi
kurikulumnya, metode pendidikan, serta peranan pendidik dan peranan peserta
didik/siswanya.
Pragmatisme:
Realitas hakikatnya adalah sebagaimana dialami manusia; bersifat plural, dan
terus menerus berubah. Manusia adalah hasil evolusi biologis, psikologis dan
sosial. Pengetahuan diperoleh manusia melalui pengalaman (metode sains),
pengetahuan bersifat relatif; teori uji kebenaran pengetahuan dikenal sebagai
pragmatisme/ instrumentalisme, sebab pengetahuan dikatakan benar apabila dapat
diaplikasikan.
Hakikat
nilai berada dalam proses, yaitu dalam perbuatan manusia, bersifat kondisonal, relatif, dan memiliki kualitas individual dan
sosial. Pendidikan bertujuan agar siswa
dapat memecahkan permasalahan hidup individual maupun sosial. Tidak ada tujuan
akhir pendidikan. Kurikulum pendidikan hendaknya berisi pengalaman-pengalaman
yang telah teruji, yang sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa (child
centered) dan berpusat pada aktifitas siswa (activity centered) . Adapun
kurikulum tersebut mungkin berubah. Pragmatisme mengutamakan metode pemecahan
masalah (problem solving method) serta metode penyelidikan dan penemuan
(inquiry and discovery method). Guru hendaknya berperan sebagai fasilitator,
yaitu memimpin dan membimbing siswa belajar tanpa ikut campur terlalu jauh atas
minat dan kebutuhan siswa. Adapun siswa berperan bebas untuk mengembangkan
minat dan bakatnya. Orientasi pendidikan Pragmatisme adalah Progresivisme dan
atau Rekonstruksionisme.
DAFTAR PUSTAKA
Syaripudin, T. dan Kurniasih,
(2008), Pengantar Filsafat Pendidikan , Bandung, Percikan Ilmu.
Fileupi.edu : Tatang