HUKUM POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF ISLAM
MAKALAH
BAB I
PENDAULUAN
A.
Latar Belakang
Dilatar
belakangi oleh maraknya poligami dikalangan masyarakat sehingga banyak dari
kaum waita yang terlantar dikarenakan tidak bisanya sang suami dalam memberikan
nafkah kepada istri-istrinya. Bahkan pada zaman modern saat ini
poligami itu sendiri bukan menjadi sesuatu yang asing di mata masyarakat.
Siapapun boleh dan siapapun bisa melakukan poligami. Tanpa mempertimbangkan
hal-hal yang diajarkan islam dan rasulnya merekapun sewenang-wenang bebas
melakukan poligami. Inilah yang seharusnya diperhatikan oleh kaum laki-laki,
walaupun islam membolehkan dan rasul pun melakukannya bukan berarti poligami
ini bisa dilakukan seenaknya. Banyak yang harus diperhatikan dan
dipertimbangkan untuk melakukan poligami.
Di Indonesia
sendiri tidak ada peraturan yang mengikat untuk seorang laki-laki melakukan
poligami. Semuanya diperbolehkan. Bahkan banyak sekali seorang laki-laki yang
mempunya istri lebih dari 10. Akibatnya banyak waita-wanita yang menjadi istri
tua atau istri yang pertama diceraikan dengan alasan sudah tidak bisa membina
keluarga dengan baik. Ditinjau dari masalah tersebut jika dibiarkan akan
berdampak kejahatan dalam rumah tangga. Bisa saja aksi bunuh membunuh, tipu
menipu dan aksi kejahatan kejahatan lain terjadi bila poligami ini tidak
dilakukan denga cara yang syar’i dan sesuai dengan yang diajarkan oleh islam.
Oleh karena itu penulis menulis judul “poligami dalam perspektif hukum islam”.
Selanjutya untuk lebih jelasnya mengenai masalah hukum poligami dalam
perspektif islam akan dibahas dalam makalah ini.
B.
Rumusan masalah
a. Apa itu poligami ?
b. Bagaimana konsep poligami dalam islam ?
c. Bagaimana hukum poligami dalam perspektif islam ?
C.
Tujuan
a. Untuk mengetahui definisi poligami.
b. Untuk mengetahui konsep poligami dalam islam.
c.
Untuk mengetahui hukum
poligami dalam perspektif islam.
D.
Manfaat
Hasil
penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat yang baik bagi semua pihak,
antara lain :
1. Bagi
penulis, makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan wawasan mengenai
kepemimpinan wanita dalam islam, serta untuk memperoleh
pengalaman menganalisis serta sebagai sumbangan pemikiran dalam rangka
penyempurnaan konsep mata kulah Seminar
Pendidikan Agama Islam.
2. Bagi
pembaca, makalah
ini dapat memberikan informasi secara tertulis maupun sebagai referensi mengenai poligami dalam
perspektif hukum islam.
E.
Metode
Dalam penulisan makalah ini
penulis menggunakan metode studi pustaka dan dari
internet
F.
Sistematika penulisan makalah
Dalam makalah ini padabab 1 terdiri atas
latar belakang masalah, yang mana penulis mengangkat tentang hukum poligami
dalam perspektif islam. rumusan masalah pada makalah ini meliputi ingin
mengetahui apa itu poligami, bagaimana kosep poligami, dan bagaimana hukum
poligami dalam islam. Tujuan yang kami harapkan adalah untuk mengetahui
bagaimana islam memandang poligami yang semakin marak dikalangan masyarakat.
Manfaat yang akan diperoleh adalah menambah wawaasan tentang hukum poligami dalam
perspektif islam.Metode yang kami gunakan adalah studi pustaka dan mencari dari
internet.dan sistematika penulisan.
Selanjutnya untuk bab 2 terdiri dari
definisi poligami,Secara
etimologis atau lughowi bahwa kata poligami berasal dari bahasa yunani gabungan
dari dua kata poli atau polus yang berarti banyak, secara gamein dan gamos yang
berarti perkawinan. Dengan demikian poligami berarti perkawinan yang banyak.
Secara tertimonologi atau istilah Poligami ialah mengawini beberapa lawan jenis
di waktu yang bersamaan. Berpoligami adalah menjalankan (melakukan) poligami.
Poligami, sama dengan poligini, yaitu mengawini beberapa perempuan dalam waku
yang sama.
Untuk bab 3 dalam makalah kami terdiri dari
kesimpulan dan saran. Dalam kesimpulan dan saran ini kami menyimpulkan materi makalah
yang telah kami paparkan. Dan juga kami berharap dengan adanya saran dalam
pembahasan makalah ini, kita bisa tahu bagaimana hukum poligami dalam
perspektif islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Poligami
Secara
etimologis atau lughowi bahwa kata poligami berasal dari bahasa yunani gabungan
dari dua kata poli atau polus yang berarti banyak, secara gamein dan gamos yang
berarti perkawinan. Dengan demikian poligami berarti perkawinan yang banyak.
Secara tertimonologi atau istilah Poligami ialah mengawini beberapa lawan jenis
di waktu yang bersamaan. Berpoligami adalah menjalankan (melakukan) poligami.
Poligami, sama dengan poligini, yaitu mengawini beberapa perempuan dalam waku
yang sama. Menurut Drs. Sidi Ghazalba, poligami ialah perkawinan antra seorang
laki-laki dengan perempuan dengan beberapa orang laki-laki. Sebenarnya istilah
ini mengandung pengertian poligini dan poli andri, tetapi karena poligini yang
lebih banyak terdapat, terutama sekali di Indoneisa dan Negara-negara yang
memakai hukum islam, maka tanggapan tentang poligini ialah poligami.
Dalam
islam poligami didefinisikan perkawinan seorang suami dengan istri lebih dari
seorang dengan batasan maksimal empat orang istri dalam waktu bersamaan.
Poligami
dibagi menjadi tiga bagian :
1. Poligini adalah seorang pria yang
memiiki bebrapa istri sekaligus.
2. Poliandri adalah seorag wanita
memiliki beberapa suami sekaligus
3. Pernikahan kelompok dalam bahasa
inggris marriage yaitu kombinasi antra poligini dan poliandri. Pada umumnya
masyarakat lebih mengenal poligami dibanding dengan poligini, hal ini sejalan
dengan daces dan trayes yang tidak menggunakan lagi istilah poligami dalam
pembagian tipe pemikiran, namun mereka menggunakan istilah poligami.
Sebenarnya
istilah poligami itu mengandung pengertian poligini dan poliandri. Tetapi
karena poligami lebih banyak dikenal terutama di Indonesia dan Negara-negara
yang memakai hukum islam, maka tanggapan tentang poligini ialah poligami.
B.
Konsep Poligami Dalam Hukum Islam
Syariat
islam memperbolehkan poligami dengan batasan sampai empat orang dan mewajibkan
berlaku adil kepada mereka, baik dalam urusan pangan, pakaian, tempat tinggal,
serta lainnya yang bersifat kebendaan tanpa membedakan antara istri yang kaya
dan istri yang miskin, yang berasal dari keturunan tinggi dengan yang rendah
dari golongan bawah. Bila suami kwatir berbuat zhalim dan tidak mampu memenuhi semua
hak-hak mereka, maka hendaknya tidak berpoligami. Bila yang sanggup dipenuhi
hanya tiga, maka tidak dianjurkan baginya menikah dengan empat orang. Jika dia
hanya mampu memenuhi hak dua orang istri maka tidak dianjurkan baginya untuk
menikahi sampai tiga kali. Begitu juga kalau ia kwatir berbuat dzalim dengan
mengawini dua orang perempuan maka baginya tidak dianjurkan untuk melakukan
poligami.
Sebagaimana
dalam firman Allah SWT dalam surat An-nisa ayat 3 yang artinya :dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil terhadap hak-hak perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita wanita lain yang kamu senangi : dua, tiga, atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang
saja, atau budak budak yag kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya.
Dalam
sebuah hadits Nabi Saw. Juga disebutkan : dari Abi Hurairah R.a sesungguhnya
Nabi Saw bersabda, “ barang siapa
yang mempunyai dua orang istri lalu
memberatkan pada salah satunya, maka ia akan dating di hari kiamat nani dengan
punggung miring “. (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’I, dan Ibnu Hibban)
Keadilan
yang diwajibkan oleh Allah dalam ayat diatas, tidaklah bertentangan dengan
firman Allah Swt. Dalam Surat Al-Nisa 129:
Dan kamu sekali-kali tidak akan
dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin
berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu
cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu
mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Kalau
ayat tersebut seolah-olah bertentangan dengan masalah berlaku adil, pada ayat 3
surat Al-Nisa, diwajibkan berlaku adil, sedangkan ayat 129 meniadakan berlaku
adil. Pada hakikatnya, kedua ayat tersebut tidaklah bertentangan karena yang
dituntut disini adalah adil dalam masalah lahiriyah bukan kemampuan manusia.
Berlaku adil yang ditiadakan dalam ayat diatas adalah adil dalam masalah cinta
dan kasih sayang.
Abi
bakar bin Arabi mengatakan bahwa memang benar apabila keadilan dalam cinta itu
berada di luar kesanggupan manusia. Sebab, cinta itu adanya dalam genggaman
Allah Swt. Yang mampu membolak-balikannya menurut kehendak-Nya. Begitu juga
dengan bersetubuh, terkadang ia bergairah dengan istri yang satu tapi tidak
begitu bergairah dengan istrinya yang lain. Dalam hal ini, apabila tidak
sengaja, ia tidak terkena hukuman dosa karena berada diluar kemampuannya. Oleh
karen itu, ia tidaklah dipaksa untuk melakukannya.
Aisyah
Ra berkata :
Rasullullah Saw. selalu membagi
giliran sesama istrinya dengan adil dan beliau pernah berdo’a: Ya Allah! Ini
bagianku yang dapat aku kerjakan. Karena itu janganlah engkau mencelakakanku
tentang apa yang Engkau Kuasai, sedang aku tidak menguasainya. “ Abu Dawud
berkata bahwa yang dimaksud dengan “Engkau tetapi aku tidak menguasai”, yaitu
hati. (HR.Abu
Dawud, Tirmidzi,Nasa’i dan Ibnu Majah).
Menurut
sebagian ulama, hadis tersebut sebagai penguat kewajiban melakukan pembagian
yang adil terhadap istri-istrinya yang merdeka dan makruh bersikap berat
sebelah dalam menggaulinya, yang berarti mengurangi haknya, tetapi tidak
dilarang untuk mencintai perempuan yang satu daripada lainnya, karena masalah
cinta berada diluar kesanggupannya.
Jika
suami melakukan perjalanan, hendaklah dia mengajak salah seorang diantara
istrinya untuk menemaninya, dan lebih baik apabila dilakukan dengan undian.
Dalam hal ini, para ulama juga berkata, giliran yang dilakukan oleh Rasulullah
Saw. terkadang ada yang mendapat siang hari, terkadang juga ada yang mendapat
giliran malam hari. Dalam hak giliran, juga ada hak hibah sebagaimana adanya
hak hibah dalam hal harta benda.
Kebanyakan
ulama sepakat bahwa istri yang ikut serta menemaninya bepergian, maka hari-hari
yang digunakan itu tidak dijumlahkan dan di ganti dengan hari-hari lainnya, dan
hari-hari yang digunakannya itu tidak menyebabkan dia kehilangan sekian kali
masa giliran menurut lama dan pendeknya waktu perjalanan. Akan tetapi,
segolongan ulama yang lain berpendapat bahwa, hari-hari yang digunakan tadi
dijumlahkan dan di ganti dengan hari-hari lain sehingga nantinya ia kehilangan
sekian kali masa giliran, dan masa banyak.
Pendapat
pertama yang lebih baik karena sudah menjadi ijma’ sebagian besar ulama. Di samping
itu, walaupun dia mendapatkan hari-hari menemani suaminya lebih banyak, ia
mengalami penderitaan dan kesusahan semasa perjalanan yang cukup berat. Selain
itu prinsip keadilan juga menolak hal ini. Sebab, kalau disamakan berarti
menyimpang dari rasa adil. Itulah maksud dari hadits berikut, yang
memperbolehkan istri yang mendapat giliran dari suaminya untuk tidak
menggunakannya, sebab menjadi hak sepenuhnya dan ia boleh memberikan kesempatan
bepergian kepada istri yang lain.
C.
Hukum Poligami Dalam Perspektif
Islam
Menurut
Mahmud Syaltut, mantan Syekh Al-azhar di Mesir, hukum poligami adalah mubah,
yakni dibolehkan, selama tidak dikwatirkan terjadinya penganiayaan terhadap
para istri. Jika terdapat kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya
penganiayaan dan untuk melepaskan diri dari kemungkinan dosa yang dikhawatirkan
itu, dianjurkan agar mencukupkan beristri satu orang saja. Dengan demikian,
menjadi jelas bahwa kebolehan berpoligami adalah terkait dengan terjaminnya
keadilan dan ketiadaan kekhawatiran akan terjadinya penganiayaan, yaitu
penganiayaan terhadap para istri.
Zamahsyari,
dalam kitabnya tafsir Al-kasysyaf mengatakan, poligami menurut syariat islam
adalah merupakan suatu rukhshah (kelonggaran) ketika darurat, sama halnya
dengan rukhshah bagi musafir dan orang sakit yang dibolehkan berbuka puasa
pada bulan ramadhan ketika dalam
perjalanan.
Sehubungan
dengan ini, Syekh Muhammad Abduh mengatakan bahwa haram berpoligami, bagi orang
yang merasa khawatir akan tidak berlaku adil. Ayat surat An-nisa tersebut dipahami
oleh mayoritas muslimin semenjak masa hidup rasulullah sampai kepada masa para
ulama mujtahidin, bahkan para mufassir kontemporer seperti yang telah
disebutkan, dapat dirumuskan hukum-hukum sebagai berikut dan sekaligus sebagai
tanggapan terhadap permohonan uji UUP No. 1 tahun 1947.
1. Kata “fankihu” dalam ayat 3 surat
An-Nisa yang artinya, maka menikahlah kalian. Walaupun kata itu berbentuk
perintah, namun maksudnya hanyalah berarti boleh dan bukan bermaksud wajib yang
apabila tidak dikerjakan, akan berdosa, tetapi hanya sebagai alternatif untuk
menghindari perkawinan dengan anak yatim dalam asuhan walinya yang tidak
memberikan mahar dan nafkah yang layak, padahal ia mampu, karena ia menikah
perempuan yatim tersebut hanya mengharapkan hartanya sesuai dengan sebab nuzul
ayat itu seperti yang disebutkan oleh siti Aisyah, istri Rasulullah Saw. Karena
itu maka turunlah ayat 3 surat An-Nisa.
2. Ayat 3 surat An-Nisa itu juga
mempunyai pengertian bahwa dibolehkannya poligami dengan adanya syarat
kemampuan untuk memberi nafkah dan lain-lain yang dibutuhkan oleh istri-istri
dan anak-anak, berdasarkan firman Allah dalam ayat tersebut “alla ta’uuluu”
yang berarti agar kamu tidak mempunyai anak (keluarga) yang banyak. Dengan
demikianlah penafsiran imam Syafi’I dalam kitabnya ahkam alquran, yang
merupakan kumpulan dari pendapat-pendapat imam Syafi’i. Maksud “alla ta’uuluu”
menurut Syafi’I ialah agar kamu jangan sampai mempunyai anak (keluarga) yang
banyak yang menjadi tanggungan kamu, lebih dari tanggungan itu jika kamu hanya
menikah dengan seorang istri, walaupun kamu diperbolehkan menikah dengan lebih
dari satu (berpoligami).
Maka secara tidak langsung, ayat 3
surat An-Nisa itu memberi isyarat bahwa kemampuan untuk memberi nafkah dan
lain-lain yang diperlukan dalam rumah tangga hendaklah dimiliki oleh siapa yang
hendak berpoligami. Ini merupakan sanggahan kepada pemohon yang mengatakan
bahwa adanya kemampuan sebagai salah satu syrat diperbolehkannya poligami
seperti yang disebutkan dalam UUP No. 1 tahun 1974 pasal 5 ayat (1) huruf b,
yaitu: adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup
istri-istri dan anak-anak mereka, itu merugikan pemohon khususnya dan umat
islam pada umumnya, karena pasal ini merupakan perwujudan dari
kesewenang-wenangan untuk menghambat atau memersulit permohonan berpoligami.
Syarat kepastian bisa menjamin nafkah jelas tidak ada dalam aturan Islam karena
yang menjamin rezeki istri dan anak itu Tuhan bukan manusia. Ungkapan
permohonan dapat dijawab, bahwa kata “alla ta’uulu” yang telah ditafsirkan di
atas merupakan dalil Alquran tentang perlu adanya syarat kemampuan memberi
nafkah kepada istri-istri dan anal-anak jika hendak berpoligami.
Kalau pemohon mengatakan bahwa
persyaratan boleh poligami dengan syarat yang sangat ketat dalam UUP No. 1
tahun 1974 tersebut adala melanggar hak asasi permohonan, karena menghambat
permohonan untuk beribadah, perlu diketahui oleh pemohon, bahwa beribadah itu
ada aturannya-aturannya.
Kalau pemohon mengatakan bahwa
berpoligami itu masalah pribadi dan terkait dengan kebebasan beragama dan hak
asasi, yang karena itu Negara tidak boleh berintervensi, pandangan seperti ini
dapat ditolak, karena menunaikan ibadah haji juga adalah urusan pribadi, tetapi
Negara/pemerintah intervensi dalam pelaksanaannya demi kemashalatan warga
Negara Indonesia yang melaksanakannya.
Demikian pulalah halnya poligami
karena akibatnya banyak menyengsarakan dan melantarkan anak dan istri, dimana
yang demikian itu melanggar hakasasi istri dan anak-anak, maka pemerintah perlu
membuat undang-undang yang dapat mengatur masalah poligami. Dalam hal ini,
pemerintah telah menetapkan UUP No. 1 Tahun 1974 sebagai pedoman dalam
pelaksanaan perkawinan demi kemaslahatan warga negaranya. Oleh sebab itu
sebagai warga Negara yang baik harus mematuhi undang-undang dan
peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Kebolehan poligami hanya sebagai
alternatif atau karena darurat. Kalau seseorang dilarang untuk
berkeluarga/menikah, itu melanggar hak asasi karena dapat menyeretnya kepada
perbuatan zina dan mengembangkan keturunan sehingga tidak dikenakan syarat
harus mampu, tetapi berpoligami tidak dibolehkan secara mutlak. Sudah
disyaratkan harus mampu (secara fisik dan ekonomi) karena sudah ada istri dan
dengannya ia sudah terhindar dari perbuatan zina. Seseorang tidak bisa berlaku
adil jika tidak memiliki kemampuan memberi nafkah kepada istri-istri dan
anak-anak. Boleh berpoligami, dengan syarat adil, sedangkan sudah mampu, belum
tentu seseorang dapat berlaku adil dalam berpoligami.
Kalau berpoligami itu dianggap
sebagai ibadah, maka masih banyak ibadah-ibadah yang lain yang dapat dikerjakan
lebih besar pahalanya dan tidak ada resiko, seperti memperbanyak shalat
tahajud, shalat witir, shalat dhuha, puasa sunah, dan lain-lain, bukannya
berpoligami yang nanti membawa resiko yang akan dipertaggung jawabkan di dunia
dan di akhirat jika tidak bisa berlaku adil.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam Islam poligami didefinisikan
perkawinan seorang suami dengan istri lebih dari seorang dengan batasan
maksimal empat orang istri dalam waktu bersamaan.
Syariat Islam memperbolehkan
poligami dengan batasan sampai empat orang dan mewajibkan berlaku adil kepada
mereka, baik dalam urusan pangan, pakaian, tempat tinggal, serta lainnya yang
bersifat kebendaan tanpa membedakan antara istri yang kaya dan istri yang
miskin, yang berasal dari keturunan tinggi dengan yang rendah dari golongan
bawah.
Adapun
syarat utama yang harus dipenuhi adalah suami mampu berlaku adil terhadap
isteri-isterinya dan anak-anaknya, akan tetapi jika suami tidak bisa memenuhi
maka suami dilarang beristeri lebih dari satu, disamping itu si suami harus
terlebih dahulu mendapat izin dari Pengadilan Agama, jika tanpa izin dari
Pengadilan Agama maka perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.
B.
Saran
Dalam penyusunan makalah ini kami
menelaah hal yang memang patut kita jalani dalam hidup tentunya yang berkenaan
dengan hal diatas. Jadi baiknya kita sebagai warga Indonesia yang muslim
mempedomani UU Nomor 1 tahuhn 1974 dan KHI agar mempermudah kita menerapkan
hukum islam.
Serta merta dalam penyusunan makalah
ini kami merasa masih banyak kekurangan dan kelemahan maka dari itu untuk ke
depannya agar dapat lebih baik kami mengharapkan saran dan kritik yang
membangun.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Raffiq, Hukum Islam di Indonesia. Jakarta:
Rajagrafindo Persada. 2006, Cetakan ke 6
Harbert
Sebenser, Ilmu Masyakat. Jakarta:Karya
Anda, 2007
Sabiq,
Sayyid. Fiqih Sunnah. Bandung:
Alma’arif, 2008. Cetakan XX
Sahrani,
Sohari. Fikih Munakahat. Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2010. Cetakan ke II
Rosyidah
Nur Rahmawati, Wacana Poligami di Indonesia . Bandung: Mizan, 2005
Tim
Redaksi Pustaka Pustisia, Hukum Keluarga,
Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010. Cetakan pertama
Tahido
yanggo, huzaemah. 2010. Fikih Perempuan
Kontemporer. Jakarta: Ghalia Indonesia