Sekilas Perjalanan Hidup Ki Hadjar Dewantara :
Lahir dengan nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, Ki Hadjar Dewantara terlahir dalam keluarga kraton Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889 dan wafat pada tanggal 26 April 1959. Sebagai golongan ningrat, Ki Hadjar Dewantara memperoleh hak untuk mengeyam pendidikan yang layak dari kolonial Belanda. Setelah menamatkan ELS (Sekolah Dasar Belanda), beliau meneruskan pelajarannya ke STOVIA (Sekolah Dasar Bumiputera), sayang sekali karena sakit ia tidak dapat meneruskan pendidikannya di STOVIA. Pada tanggal 3 Juli 1922 beliau mendirikan Perguruan Taman Siswa dan sampai saat wafatnya terus memimpin perguruan tersebut. Taman Siswa merupakan sebuah perguruan yang bercorak nasional yang menekankan rasa kebangsaan dan cinta tanah air serta semangat berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Perjuangan Ki Hadjar Dewantoro tak hanya melalui Taman Siswa, sebagai penulis, Ki Hadjar Dewantara tetap produktif menulis untuk bebagai surat kabar. Tulisan Ki Hadjar Dewantoro berisi konsep-konsep pendidikan dan kebudayaan yang berwawasan kebangsaan, dan melalui konsep-konsep itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
Konstruktivisme dalam Pemikiran Ki Hadjar Dewantara
Membaca tulisan-tulisan Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan, teringat pada pendekatan konstruktivisme dalam pendidikan. Keduanya sama-sama menekankan bahwa titik berat proses belajar mengajar terletak pada murid. Pengajar berperan sebagai fasilitator atau instruktur yang membantu murid mengkonstruksi konseptualisasi dan solusi dari masalah yang dihadapi. Jadi pembelajaran yang optimal adalah pembelajaran yang berpusat pada murid (student center learning). Konstruktivisme yang sudah besar pengaruhnya sejak periode 1930-an dan 1940-an di Amerika, juga di Eropa, secara langsung atau tidak langsung dasar-dasarnya pernah dipelajari oleh Ki Hadjar Dewantara. Dasar pertama dari pendekatan konstruktivisme dalam pendidikan adalah “teori konvergensi” yang menyatakan bahwa “pengetahuan manusia merupakan hasil interaksi dari faktor bawaan (nature) dan faktor pengasuhan (nurture). Menurutnya, baik “dasar” (faktor bawaan) maupun “ajar” (pendidikan) berperan dalam pembentukan watak seseorang.
Dari Teori Konvergensi ke Sistem Merdeka
Dalam penerapannya di bidang pendidikan, oleh Ki Hadjar teori konvergensi diturunkan menjadi sistem pendidikan yang memerdekakan siswa atau yang disebutnya “sistem merdeka”. Ki Hadjar menunjukkan bahwa pendidikan diselenggarakan dengan tujuan membantu siswa menjadi manusia yang merdeka dan mandiri, serta mampu memberi konstribusi kepada masyarakatnya. Menjadi manusia merdeka berarti : (a) tidak hidup terperintah; (b) berdiri tegak karena kekuatan sendiri; dan (c) cakap mengatur hidupnya dengan tertib. Singkatnya, pendidikan menjadikan orang mudah diatur tetapi tidak dapat disetir. Pandangan konstruktivisme tentang pendidikan sejalan dengan pandangan Ki Hadjar Dewantara yang menekankan pentingnya siswa menyadari alasan dan tujuan ia belajar. Ki Hadjar mengartikan mendidik sebagai “berdaya upaya dengan sengaja untuk memajukan hidup tumbuhnya budi pekerti dan badan anak dengan jalan pengajaran, teladan dan pembiasaan” Ki Hadjar dan konstruktivisme sama-sama memandang pengajar sebagai mitra siswa untuk menemukan pengetahuan. Mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke murid melainkan kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Pengajar ikut aktif bersama siswa dalam membentuk pengetahuan, mencipta makna, mencari kejelasan, bersikap kritis dan memberikan penilaian-penilaian terhadap berbagai hal. Mengajar dalam konteks ini adalah membantu siswa untuk berpikir secara kritis, sistematis dan logis dengan membiarkan mereka berpikir sendiri. Sejalan dengan itu, Ki Hadjar Dewantara memakai semboyan “Tut Wuri Hanadayani” (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan), ing madya mangun karsa (di tengah atau di antara murid, pendidik harus menciptakan prakarsa dan ide), dan ing ngarsa sung tulada ( di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan baik). Semboyan ini masih tetap dipakai hingga kini dalam dunia pendidikan dan terutama di sekolah-sekolah Taman Siswa.
Analisis Kritis
Menurut Ki Hajar Dewantoro, manusia memilki daya cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitik beratkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual saja hanya akan mejauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika ini berlanjut akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi.
Implementasi Dalam Dunia Pendidikan
Perjuangan Ki Hajar Dewantoro terhadap pendidikan Indonesia membuat beliau layak di anugerahi gelar pahlawan pendidikan Indonesia.
Tidak berlebihan jika tanggal lahir beliau, 2 Mei diperingati sebagai hari Pendidikan Nasional untuk mengenang dan sebagai penyemangat bagi kita untuk meneruskan prakarsa dan pemikiran-pemikiran beliau terhadap pendidikan Indonesia.
Ki Hajar Dewantara mempunyai semboyan tut wuri handayani, ing madya mangun karsa dan ing ngarsa sung tulada. Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan.
Pendidikan yang humanis menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya sebagai manusia yang utuh berkembang ( menurut Ki Hajar Dewantara menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif). Singkatnya, “educate the head, the heart, and the hand”