Indonesia adalah bangsa yang
unik. Simak baik-baik kenapa saya katakan bangsa kita adalah bangsa yang unik.
Indonesia kini sedang berada dalam krisis multidimensi dan keterpurukan dalam
berbagai dimensi. Kenapa bisa terjadi? Sementara jika kita melihat sumber daya
potensial bangsa Indonesia sendiri sangatlah tidak terkira. Dengan modal sumber
daya yang cukup melimpah, seharusnya sebuah negara dapat sampai pada titik
kemajuannya. Namun, ternyata tidak dengan Indonesia. Meski Indonesia memiliki
modal tersebut, tidak menghantarkan Indonesia menjadikan rakyatnya merasakan
sebuah kemakmuran, keadilan dan kesejahteraan, justru malah sebaliknya.
Bangsa Indonesia yang telah
berdiri sekitar 69 tahun silam, memiliki kondisi yang unik dalam
perkembangannya hingga kini.Keunikan bangsa kita yang memiliki keberagaman
komponen dan kekayaan serta keunikan akan kondisi yang dialami saat ini.
Kondisi yang jauh berbeda dengan logika berpikir manusia akan hal ini, negara
yang memiliki modal cukup baik namun tak menemukan sebuah titik kemajuan.
Lantas, apa yang salah dengan bangsa kita? Benar-benar unik bukan bangsa kita,
Indonesia.
Dengan fenomena tersebut,
pandangan dan pikiran kita tentu terarah untuk menelaah sebenarnya apa penyebab
bangsa kita seperti ini? Bagaimana kita memecahkan masalah bangsa kita agar
mampu keluar dari krisis dan keterpurukan multidimensi, kemudian mampu
menghantarkan bangsa untuk menemukan titik kemajuan atau setidaknya untuk
menjadikan Indonesia lebih baik.
Melihat serta menganalisa
kenyataan fenomena nyata kondisi bangsa Indonesia, indikasi mengenai “Apa yang
salah dengan bangsa ini” sebagian besar adalah karakter bangsa yang kurang
baik, rusaknya moral/akhlak bangsa kita yang kian hari kian akut. Nah, sekarang
terlihat “Apa yang salah dengan bangsa ini”? Untuk memperjelas, mari kita coba
refleksikan satu kisah dari percakapan tentang pendidikan di Australia yang
jika kita kaitkan dengan indikasi tadi, dapat dibenarkan bahwasanya bangsa ini benar-benar
salah. Kisah ini saya baca pada post website Rumus Web. (
http://www.rumus.web.id/pendidikan/belajar-matematika-vs-belajar-mengantri/).
Dalam kisah ini menggambarkan kesalahan dunia pendidikan Indonesia, dimana
pendidikan di Indonesia secara kasar bahasa lebih mengutamakan pendidikan
calistung, matematika bagi anak sejak dini dibandingkan dengan pendidikan moral
atau karakter.
Pendidikan di Indonesia kini
diragukan kualitasnya, melihat output dari sistem pendidikan kita sangat
mengecewakan. Progam wajib belajar 6 tahun bahkan dalam pencanangannya akan
wajib belajar 12 tahun, namun ketika pendidikan itu sendiri sudah berjalan 12
tahun namun hasilnya sangat memprihatinkan. Maraknya fenomena-fenomena negatif
yang terjadi pada anak-anak didik Indonesia, sebut saja tawuran pelajar,
pergaulan bebas pelajar, demo para mahasiswa yang anarkis dan lain sebagainya.
Kembali pada kisah percakapan
dengan seorang guru di Australia. Guru Australia, berkata: “Kami tidak terlalu
khawatir jika anak-anak sekolah dasar kami tidak pandai Matematika, kami lebih
khawatir jika mereka tidak pandai mengantri.” Lalu orang Indonesia bertanya:
“Mengapa bisa demikian? Yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya.
Dan guru Australia tersebut
menjawab: “Karena kita hanya perlu melatih anak selama 3 bulan saja secara
intesif untuk bisa Matematika, sementara kita perlu melatih anak hingga 12
tahun atau lebih untuk mengantri dan selalu ingat pelajaran berharga dibalik
proses mengantri. Karena tidak semua anak kelak akan berprofesi menggunakan
ilmu matematika kecuali Tambah, Kali, Kurang, dan Bagi. Sebagian mereka akan
menjadi Penari, Atlet Olimpiade, Penyanyi, Musisi, Pelukis dan sebagainya. Karena
biasanya hanya sebagian kecil saja dari murid-murid dalam satu kelas yang kelak
akan memilih profesi dibidang yang berhubungan dengan Matematika. Sementara
semua murid dalam satu kelas ini pasti akan membutuhkan Etika Moral dan
Pelajaran berharga dari mengantri di sepanjang hidup mereka kelak.”
Lalu, orang Indonesia kembali
bertanya: “Oh, memang ada pelajaran berharga dari mengantri?” Guru Australia
kembali menjawab: “Ya! banyak sekali pelajaran berharganya, yakni:
1.
Anak belajar manajemen waktu, jika ingin mengantri
paling depan datang lebih awal dan persiapan lebih awal.
2.
Anak belajar bersabar menunggu
gilirannya tiba terutama jika ia di antrian paling belakang.
3.
Anak belajar menghormati hak
orang lain, yang datang lebih awal dapat giliran lebih awal dan tidak saling
serobot merasa diri penting.
4.
Anak belajar berdisiplin dan
tidak menyerobot hak orang lain.
5.
Anak belajar kreatif untuk
memikirkan kegiatan apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi kebosanan saat
mengantri. (di Jepang biasanya orang akan membaca buku saat mengantri)
6.
Anak bisa belajar
bersosialisasi menyapa dan mengobrol dengan orang lain di antrian.
7.
Anak belajar tabah dan sabar
menjalani proses dalam mencapai tujuannya.
8.
Anak belajar hukum sebab
akibat, bahwa jika datang terlambat harus menerima konsekuensinya di antrian
belakang.
9.
Anak belajar disiplin, teratur
dan kerapihan.
10.
Anak belajar memiliki rasamalu, jika ia
menyerobot antrian dan hak orang lain.
11.
Anak belajar bekerjasama dengan
orang-orang
yang ada di dekatnya jika sementara mengantri ia harus keluar antrian sebentar
untuk ke kamar kecil.
12.
Anak belajar jujur pada diri
sendiri dan pada orang lain.
Dan mungkin
masih banyak lagi pelajaran berharga lainnya, silahkan anda temukan sendiri
sisanya.”
Nah, kita tentu akan tertegun
sama seperti halnya orang Indonesia yang berbincang dan mendengarkan
butir-butir penjelasan guru Australia tersebut. Dan kembali kita menyadari atau
baru saja menyadari bahwa itu sangatlah berbeda dengan di Indonesia. Melihat
pelajaran moral pendidikan Australia tersebut, orang Indonesia pada percakapan
kisah tersebut setelah pulang kembali ke Indonesia ia menyadari hal tersebut
ketika dia mengajak anaknya berkunjung ketempat bermain anak Kids Zania di
Jakarta.
Ia menceritakan kondisi saat itu
seperti ini: “Apa yang di pertontonkan para orang tua pada anaknya, dalam
mengantri menunggu giliran sungguh memprihatinkan. Ada orang tua yang memaksa
anaknya untuk “menyusup” ke antrian depan dan mengambil hak anak lain yang lebih
dulu mengantri dengan rapi. Dan berkata “Sudah cuek saja, pura-pura gak tau
aja!”. Ada orang tua yang memarahi anaknya dan berkata ”Dasar Penakut”, karena
anaknya tidak mau dipaksa menyerobot antrian. Ada orang tua yang menggunakan
taktik dan sejuta alasan agar anaknya di perbolehkan masuk antrian depan,
karena alasan masih kecil capek ngantri, rumahnya jauh harus segera pulang, dan
sebagainya. Dan menggunakan taktik yang sama di lokasi antrian permainan yang
berbeda. Ada orang tua yang malah marah-marah karena di tegur anaknya
menyerobot antrian, dan menyalahkan orang tua yang menegurnya. dan berbagai
macam kasus lainnya yang mungkin anda pernah alami juga?”.
Sekarang semakin jelas dan
mengarahkan kita pada kebenaran akan kesalahan apa yang terjadi pada bangsa
Indonesia. Bangsa Indonesia ketika bangsa-bangsa maju lainnya memikirkan dan
mengutamakan kepentingan pendidikan moral daripada bidang lainnya, sebaliknya
Indonesia justru masih saja meributkan anak muridnya tentang Calistung (Baca
Tulis Hitung), Les Matematika dan Sejeninya.
Budaya bangsa Indonesia dalam
mengantri yang buruk merupakan cerminan jauhnya gaya hidup masyarakat yang
sesuai dengan praktek hidup beretika dan bermoral. Hendak jadi apa bangsa ini
jika dalam budaya mengantri saja, bangsa Indonesia belum dapat memaknainya
dengan baik. Ini adalah pelajaran yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia,
bahwasanya pelajaran sederhana dari mengantri ini ternyata mampu menjadikan
Indonesia beberapa langkah mundur dalam kemajuan. Jika terus kita mengabaikan
pelajaran-pelajaran moral sederhana seperti ini, maka bangsa kita akan semakin
tertinggal.
Maka, marilah kita membangun
jaringan kekuatan bangsa yang bersinergi antar setiap komponen bangsa. Secara
personal, sebagai mahasiswa progam PGSD (Pendidikan Guru Sekolah Dasar) saya meyakini
dunia pendidikan perlu mendapatkan perhatian lebih terutama pendidikan moral
bangsa, dan pendidikan patut menjadi lini terdepan demi kemajuan bangsa ini.
Dunia pendidikan sebagai wadah pencetak, alat regenerasi
keberlangsungan hidup bangsa ini dari waktu ke waktu. Dengan latar dunia
pendidikan dalam mengatasi kesalahan karakter bangsa, pendidikan karakter harus
mendapatkan penekanan yang tinggi untuk para insan peserta pendidikan yang
notabene adalah anak-anak generasi baru yang akan meneruskan keberlangsungan
hidup bangsa ini, sekalipun pada generasi sekarang komplikasi masalah bangsa
Indonesia tidak dapat teratasi, merekalah generasi baru yang menjadi tumpuan
harapan kemajuan bangsa ini kelak. Persiapan yang matang serta berkualitas
adalah hal yang perlu kita lakukan dalam membina generasi muda sejak kini.
Semoga bangsa ini akan lebih baik. (created: elmi hanjar bait)